Dua minggu yang lalu kala itu Irma datang padaku, ia berkata, “Aku ingin sebuah tanaman obat mas, bisakah engkau mencarikannya untukku”.
*****
Lama setelah itu, aku tidak lagi bertemu dengan Irma. Kadang aku begitu merindukan segala yang ada dalam dirinya dari matanya yang bulat berbinar-binar hingga cerita desanya yang sederhana nan bersahaja. Ini tentu saja kerinduan yang tidak masuk akal mengingat mimpi tentang Irma sebenarnya sesuatu yang bisa membuatku sinting. Namun, sungguh, sekarang aku menginginkan kedatangan Irma. Juga ibu-ibu yang membaca kitab suci alquran itu. Seperti apakah mereka sekarang? Apakah semakin suci seperti kitab yang mereka baca? Mereka tumbuh bebas dengan perasaan yang senantiasa berdesir bahagia. Mereka hidup dengan hati yang tak berdebar. Kadang hanya perasaan datar, namun tak pernah gusar. Dan hanya orang-orang terpilihlah yang mampu memasuki perasaan yang seperti itu.
Irma, Irma, Irma..., bagaimana kabarmu sekarang?
Aku sama sekali tidak tahu di mana Irma bersembunyi dari kesunyianku. Bermalam-malam aku merancang mimpi agar bisa bertemu kembali dengan Irma. Aku ingin melihat tubuhnya yang berbalut busana hijau mendengar lantunan merdu, dari kitab suci yang ia baca. Mata yang berbinar ceria membara. Juga cerita-ceritanya. Tidak. Ia tidak pernah datang lagi. Mimpi yang kurancang justru menjadi mimpi indah yang lama-lama membuatku gundah.
*****
Tapi suatu pagi, tanpa kuduga sama sekali dan terasa seperti permainan belaka (namun kapan pula hidup Irma tanpa kejutan?) aku menemukan Irma di teras rumah. Aku terpana lama. Benarkah itu Irma? Apa ini mimpi? Ah, mestinya aku tidak peduli tentang itu. Bukankah nyata atau mimpi, bagiku, kehadiran Irma terasa sama saja. Irma datang menghampiriku. Dengan senyum ramahnya. Saat aku sedang berjalan keluar dari mushola.
Berdiri di depanku juga ia tak mengeluarkan ekspresi lebih, cuma tersenyum manis sembari menyapa “pagi mas...”.
Tubuhnya terlihat berbeda dari yang kuingat saat ia datang terakhir kali dikala senja beberapa hari yang lalu. Ia semakin terlihat ceria wajahnya. Hanya cara menatapnya yang tidak berubah. Mata itu kian tajam tatapannya, bak memancarkan cahaya yang aku tak kuasa memandangnya, dan menjadikanku menundukkan pandangan jika ku melihat sorotan matanya itu. Tidak pernah kulihat ada pada orang lain. Aku ingin sekali memeluknya.
Meski kemudian aku hanya bertanya, “Kau kemana saja sih? Kau senang sekali hilang tiba-tiba dan muncul lagi dengan cara yang sama”.
Irma mengangkat wajahnya. Air memancar dari ceruk mata berbinar itu. Mirip mata air yang terjebak dalam bola kaca. Seketika aku merasa hanyut. Merasakan ada getaran dalam hati yang menyeruak berdebar, entah aku juga tak bisa menjelaskanya...
“Bisakah satu kali saja kau datang padaku tidak dengan kejutan, Irma?”. Pintaku lirih.
“barangkali aku memang tercipta dari kejutan, mas.... Irma berkata. “Aku tidak bisa lari, Seperti juga kau tidak bisa menghindar dariku”. Kalimat Irma membuat hatiku kian berdesir merinding, seperti tersiram air terjun di pegunungan yang sejuk.
Irma tersenyum aneh. “Kau ketakutan, mas?” tanyanya bergurau padaku.
“Tidak”, bantahku, “aku mencemaskanmu”.
Irma menahan tawa, pundaknya sedikit terguncang, sembari bergumam, “Kau tidak berubah. Selalu mencemaskan sesuatu yang tidak semestinya kaulakukan. Kau terlalu sering berlebihan padaku, mas?”.
“Aku hanya kaget saja atas olahmu sepagi ini kau menemuiku”, kilahku.
“Itu benar”, kataku lagi, tergagap dalam hati.
“Kau rajin sekali sepagi ini sudah kesini, Irma?”. Kataku semakin menimpali
“iya, mas. Aku mau mengambil tanaman sirih itu. Aku ingin membawanya ke kampusku, untuk dikumpulkan sebagai bahan tugas. Gimana mas sudah selesai ta kamu ambilkan?”. Tanya irma, padaku.
“Oh iya ir.. belum kan masih sepagi ini, maaf ya aku juga belum sempat, baru saja usai shalat”.
“oh.. iya mas, maaf aku kepagian ya mas, dan terlalu terburu-buru ya?, maaf lho mas kalu aku kepagian dan mengganggu dzikirnya mas tadi..”, kata irma lirih merasa seperti bersalah.
“Oh enggak sebenarnya ir, nggak apa-apa kok..ya sudah tunggu dahulu disini, ya ir....”. jawabku sembari berjalan menuju ke kamarku untuk ganti pakaian dan mengambil peralatan kebun.
*****
Aku pun keluar dari kamar dengan pakaian kaos oblong dan bersarung, dengan membawa sabit dan pisau pemotong rumput. dan irma pun menghampiri dan melihatku dengan sunggingan senyum lagi, senyum ramahnya seperti awal tadi. sembari berkata padaku.
“sekali lagi maaf ya mas saya merepotkan anda, juga mengganggu kekhusyukan dzikir anda tadi”.
“tidak apa-apa ir...kalau buat kamu aku tidak kerepotan kok”. Jawabku sembari tersenyum.
Tiba-tiba irma mencubit lenganku, aku menjerit kecil “aduh sakit.. lho ir”.
“ah begitu saja sakit, mas, seperti anak kecil saja”. gurauan irma padaku. Setelahbeberapa menit kami berdua dikebun itu aku sedang mengambil tanaman sirih itu, dengan menerogoh akarnya yang masih menancap pada tanah potnya,
“Mas.. hati-hati yaa.. ngambilnya. awas, kalau tangannya kena pisau, wah jadi kotor tangannya mas sekarang deh..” kata irma bergurau padaku.
“kan.. ada kamu ir yaang mau menyuci tanganku”. Candaku padanya.
“ Oh..iya ya., mas.. .aku siap kok mas mencucikan tangannya”.kata irma. dalam hati ku hanya tersenyum senang.
*****
Ketika kami masih berdua di taman itu, irma pun banyak bercerita mengenai tanaman obat serta keinginanya pergi ke masa depan. Aku hanya diam seribu bahasa mendengarkan ceritanya. Aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya ia pergi ke sana sebab, menurut Irma, ia bukan hanya menuju ke suatu tempat yang jauh bahkan melewati pulau-pulau di negeri ini, dan waktu jua yang katanya masih belum bisa menentukan. Itu berarti Irma akan berada dalam waktu beberapa tahun kedepan berpisah meninggalkanku. Mungkin saja ia akan masuk lewat sebuah pintu, entah di mana?.
Maka aku sering berada di halaman rumah, pagi sebelum berangkat kerja atau sore sepulangnya. Kadang aku sengaja melongokkan kepala berkali-kali ke ujung jalan tepat menuju rumah yang ia singgah didalamnya. Aku tahu Irma pasti datang lagi sebelum ia melakukan perjalanan. Ia tentu akan meminta sesuatu dariku. Mungkin bukan tanaman sirih, tapi kedua tanganku yang akan menggengam erat tangannya beberapa saat sebelum ia berangkat ke tempat yang entah aku tak mampu membayangkannya sebagai tanda kalau kami tetap dua orang sahabat yang kadang mencintai dengan cara terbaik dan disaat lain amat buruk juga, akan tetapi apa pun itu tetap saja bernama cinta, bukan?
Benar, Irma datang setelah sekian hari aku menunggu. Perasaanku meluap, Aku sudah melihatnya di ujung jalan. Mula-mula ia mirip satu titik hijau yang besar. Tapi kemudian aku melihat titik-titik besar yang lain, dalam warna yang berbeda-beda. Mereka makin dekat, sampai Irma melambaikan tangannya dan terlihat senyum ramahnya mengembang.
“Aku mau meminjam buku, mas”, katanya riang.
(Aku melihat sebuah buku telah dibawa pada genggaman tangan Irma, dan aku pada awalnya hanya terdiam heran).
“Untuk apa ir.....?”. Tanyaku berlanjut.
“Aduh, Mas. Apa kamu tidak tahu ada banyak sekali orang yang ingin pergi ke masa depan? Banyak sekali. Orang-orang yang kurang bahagia. Mereka yang tidak tahan bekerja keras”. Jawab irma. sedang aku hanya tercenung diam seribu bahasa, sekali lagi maaf aku merepotkanmu mas, aku kali ini ingin meminjam buku darimu mas, buku yang kulihat dari jendela ,tertumpuk pada meja nampaknya menginspirasiku, mas..”. tandas irma menjelaskan dan meyakinkanku.
Aku masih terdiam dan hanya bergelayutan tanda tanya dalam benakku. Aku memang belum terlalu akrab mengenali semua sikap dan sifatmu, namun aku tahu ia perempuan rajin ibadah,pola hidupnya sederhana nan bersahaja, peduli sesama, bersemangat, jujur, ramah nan cerdas di perumahan ini.Ia memiliki satu orang teman perempuandan seorang teman laki-laki yang terlalu sering memberinya kejutan. Ia acapkali membawa berbagai oleh-oleh kala mereka pulang liburan yang nyaris dilakukan tiap akhir pekan. Ia tidak pernah murung atau menangis seperti beberapa temanku yang tidak tahan menyimpan rasa sedih sehabis bertengkar dengan pasangan.
“aku ingin lebih giat mas,” kata Irma. Ia menggenggam kedua tanganku yang beku, lalu berjanji akan datang lagi menemuiku setelah ia kembali dari masa depan. Aku tidak benar-benar mendengar kalimat Irma yang agak panjang itu.
*******
Lama sekali setelah Irma pamit pergi ke masa depannya, malah aku hampir-hampir melupakannya karena aku menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan (sebenarnya aku melupakannya bukan semata-mata karena sibuk, tapi karena aku tahu melupakan Irma cara terbaik agar aku bisa melanjutkan hidup). pagi-pagi sekali, langit masih berwarna buram terbalut pekatnya awan, dan rerumputan halamanku masih basah oleh terpaan embun pagi.ketika aku menerima kedatangan seorang pemuda katanya padaku, Mas irma telah bahagia di thailand luar negeri sana dan ini ada pesan untuk ada darinya, ia memberiku sebuah buku dan amplop surat, pada buku itu covernya terpampang foto irma yang anggun itu, dan tertulis disana namanya lengkap dengan gelar yang disandangnya” Irma Nasution, MA. .
Kutatap lekat sampul buku itu, buku yang masih baru dan masih terbungkus plastik, aku pun mulai membuka pembungkus plastik itu, dan mataku mulai berjalan menyusuri huruf dan kata yang tertata dan tertera pada lembar demi lembar halamannya. Sesuatu segera meluap di dadaku. Penuh. Kurasakan napasku berdesir berdegup dan air mataku perlahan meleleh sementara bibirku menyunggingkan senyum bangga. Lalu sang lelaki pengantar buku dan surat tadi berpamitan dan bergegas pergi dan beranjak menjalankan tugasnya lagi. Aku pun masih dihalaman rumah dan menuju ke kursi,untuk duduk, dan mulailah ku buka amplop surat itu, Samar-samar terlintas dipandangan mataku sebuah tulisan yang berisikan pesan:
Aku benar-benar pergi, Mas, dan akan kembali. Aku menyerah dengan rasa bahagia. Kukirimkan buku ini, sebagai kenang-kenangan.Masa lalu itu jauh sekali, Apa guna ditangisi. Sedangkan masa depan kini menghampiri. Kekuatan apalagi, kalau bukan cinta dan rindu? kalau raga ini beranjak dan ingin pulang Itu saja belum cukup mewakili rasa rindu. Bahkan ucapan rindu. Tak sampai menyetuh batas kalbu. Dalam kehidupan ini layaknya sebuah film, yang ada sutradara, aktor, aktris, dan naskah dialognya. Sutradara dengan sedemikian rapinya mengatur alur, dan sutrada sendiri tidak pernah berpihak pada pemeran utama ataupun pemeran lainnya itu sendiri, namun fokus pada hasil yang ingin ditampilkan dan sebelum dimulai, para pemain sepakat untuk mengikuti alur cerita dan perannya masing-masing. dan agar cerita itu menjadi seru dan menarik,maka sutradara menyiapkannya dengan berpasang-pasangan yaitu; ada malam juga siang, manis-pahit senang-sedih. Inilah perumpamaan kehidupan. danaku saat ini telah menemukan buah berwarna di kebun nan luas ini. Aku ingin memetik buah itu bersamamu, menjadi kenangan indah setelah sekian lama ini aku memberimu kenangan yang melulu tentang kejutan, Karena didalamnya tersimpan banyak cerita. Antara aku, kau dan Sang Pencipta.
salam rinduku. Irma